BAB I
Pendahuluan
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Sejak terjadi krisis ekonomi, social dan politik pada tahun 1997 yang dialami bangsa Indonesia membuat pemerintah dan masyarakat terpuruk dan makin miskin. Kondisi demikian menyadarkan kita bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunan selama ini belum mampu secara tuntas menyelesaikan masalah kemiskinan terbukti dan sangat rentannya terhadap krisis ekonomi, social dan politik. Penyebab kemiskinan dapat disebabkan oleh 2(dua) faktor. Pertama factor internal yakni: factor yang ada pada individu, keluarga atau komunitas masyarakat miskin itu sendiri, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya tingkat pendapatan. Kedua factor eksternal yakni: dipengaruhi oleh kebijakan Global seperti sosial,politik,hokum dan ekonomi. Sedangkan dari sudut dampak kemiskinan akan menimbulkan dampak yang sangat besar jika tidak ditanggulangi seperti menurunnya kualitas sumber daya manusia,munculnya ketimpangan dan kecemburuan sosial,terganggunya stabilitas sosial,meningkatnya angka kriminalitas dan dampak sociallainnya. Kurang berhasilnya upaya penuntasan penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan dikarenakan berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan selalu bersifat parsial,sektoral dan tidak terintegrasi serta tidak focus bahkan terkadang atau ada beberapa kebijakan program yang justru menyebabkan terjadinya proses pemiskinan ditingkat masyarakat.
Sejak terjadi krisis ekonomi, social dan politik pada tahun 1997 yang dialami bangsa Indonesia membuat pemerintah dan masyarakat terpuruk dan makin miskin. Kondisi demikian menyadarkan kita bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunan selama ini belum mampu secara tuntas menyelesaikan masalah kemiskinan terbukti dan sangat rentannya terhadap krisis ekonomi, social dan politik. Penyebab kemiskinan dapat disebabkan oleh 2(dua) faktor. Pertama factor internal yakni: factor yang ada pada individu, keluarga atau komunitas masyarakat miskin itu sendiri, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya tingkat pendapatan. Kedua factor eksternal yakni: dipengaruhi oleh kebijakan Global seperti sosial,politik,hokum dan ekonomi. Sedangkan dari sudut dampak kemiskinan akan menimbulkan dampak yang sangat besar jika tidak ditanggulangi seperti menurunnya kualitas sumber daya manusia,munculnya ketimpangan dan kecemburuan sosial,terganggunya stabilitas sosial,meningkatnya angka kriminalitas dan dampak sociallainnya. Kurang berhasilnya upaya penuntasan penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan dikarenakan berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan selalu bersifat parsial,sektoral dan tidak terintegrasi serta tidak focus bahkan terkadang atau ada beberapa kebijakan program yang justru menyebabkan terjadinya proses pemiskinan ditingkat masyarakat.
2. Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
• Bagaimana cara mengataasi krisis ekonomi di Indonesia?
• Bagaimana kondisi negara indonesia di saat krisi ekonomi ?
• Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadi krisis ekonomi di Indonesia?
Adapun masalah-masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
• Bagaimana cara mengataasi krisis ekonomi di Indonesia?
• Bagaimana kondisi negara indonesia di saat krisi ekonomi ?
• Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadi krisis ekonomi di Indonesia?
3. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas terstruktur dari mata kuliah Perekonomian Indonesia. Lanjutan yang dibimbing oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan. Selain itu juga sebagai pembelajaran untuk penulis sendiri untuk berbagi ilmu kepada pembaca dan menambah pengetahuan tentang Kondisi Awal Krisis Ekonomi di Indonesia
BAB II
Kondisi
Awal Krisis Ekonomi di Indonesia
Berikut ini 4 Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
1. Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri.Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
2.Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan
pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
3. Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis.Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi
Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4. Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik
telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).
Tahun 1998 menjadi saksi bagi
tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat tragis dan tercatat
sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Mungkin dia
akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday
yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga
disebut sebagai malaise.
Hanya dalam waktu
setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua
dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan
indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.
Selama periode sembilan
bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam
perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun
1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai
dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.
Dana Moneter
Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak
bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti
lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia
bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.
Seperti efek bola salju,
krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2
Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi,
berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.
Akhirnya, dia juga
berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi
kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak goyah. Bahkan
kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia
tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi
baht, yang menjadi pemicu semua itu.
Efek
bola salju
Faktor yang mempercepat
efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat,
memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun 1998, ketidakpastian
suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan
kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi
perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina
yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.
Dari total utang luar
negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar
dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana
sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada
saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya kepercayaan
ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada
tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22
Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut
diambangkan 14 Agustus 1997.
Rupiah yang melayang,
selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai
reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan
dinilai tak realistis.
Krisis yang membuka
borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua
sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar
modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat
internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot
ke level di bawah junk atau menjadi sampah.
Puluhan, bahkan ratusan
perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70
persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau
nota bene bangkrut.
Sektor yang paling
terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga
melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran
melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar
20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK dan naiknya
harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga
meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya
sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir
harga akan terus melonjak.
Pendapatan per kapita
yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun
1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk
Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat
miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.
Data Badan Pusat
Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan
positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir
1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I
1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian
pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi
Februari mencapai 12,67 persen.
Di pasar modal, Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah,
292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997.
Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196
trilyun pada awal Juli 1998.
Di pasar uang,
dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan
Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari
masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan
kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan
tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.
Di sisi lain, sektor
ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama
terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban
utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing,
dan persaingan ketat di pasar global.
Selama periode
Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode
sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.
Anomali
Krisis kepercayaan ini
menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak mampu bekerja
untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor
fiskal yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan
akibat surutnya penerimaan.
Situasi yang terus
memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi
dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat menyampaikan
konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System)
di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20
Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan
ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.
Ditinggalkannya rencana
CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan IMF dan
internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga
ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan
berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.
Bahkan memicu adrenali
masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas. Kemarahan rakyat
atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga
yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes,
kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang
menuntun ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.
Tragedi berdarah ini
memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20 milyar dollar
AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi
nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak
rencana investasi asing di Indonesia.
Munculnya pemerintahan
baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan manuvernya untuk
merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan. Pemburukan kondisi ekonomi,
sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga
kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998. Begitulah, kita telah menyaksikan
episode terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.*
Era
Bank-bank Bangkrut
Industri perbankan selama tahun 1998 begitu
hiruk-pikuk. Antrean panjang nasabah menyambut industri perbankan awal tahun
1998. Mereka benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank di bawah
telapak kaki. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah,
menjadi awal dari semua prahara perbankan itu.
Untung ada jaminan atas
simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga. Kesulitan
perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah
panik. Namun demikian, jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan
yang sudah berkembang menjadi kronis.
Selain warisan dari
penyakit masa lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri perbankan
selama tahun 1998. Pertama adalah warisan dari kepanikan nasabah yang
mengakibatkan sumber pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang
menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI,
telah pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang terus bertambah.
Ada lagi faktor lain
yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih tinggi ketimbang suku bunga
simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban bankir
semakin bertambah saja. Bisa dikatakan, bank-bank kita sudah tinggal
gedung-gedung saja tanpa isi.
Resesi ekonomi telah
mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah. Idealnya, pemilik
bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi roh pada perbankan. Akan
tetapi itu tidak dapat dilakukan. Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit
yang disalurkan ke kelompok sendiri, terjerat kredit macet.
Tambahan pula, sebagian
kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan pemilik bank yang
ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak
nyaman di Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang langgang.
Akibatnya, BI harus
menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de facto, pemilik
saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui Bank Indonesia.
Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah dicengkeram oleh Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Akan tetapi
pengambilalihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga tak
menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah
menjadi penolong mayoritas kesulitan perbankan.
Namun pemerintah pun
kini bagai tunggang langgang, tiba-tiba dihadapkan pada beban dashyat akibat
borok-borok industri perbankan. Borok-borok itu, sangat jelas terlihat pada
peringkat perbankan yang mayoritas berkategori B (modal sudah menjadi negatif
25 persen terhadap aset) dan C (modal sudah negatif di bawah 25 persen)
terhadap aset.
Pemerintah memang merencanakan
rekapitalisasi dengan penerbitan obligasi. Diperkirakan akan ada Rp 257 trilyun
untuk menyuntikkan modal perbankan. Akan tetapi angka itu dianggap terlalu
moderat, jauh dari memadai. Kredit bermasalah bank sendiri pun mencapai kurang
lebih Rp 300 trilyun. Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu juga bukan hal
mudah untuk dipenuhi.
rencana rekapitalisasi, ada sejumlah kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah untuk menyehatkan perbankan. Ironisnya, kebijakan
yang dikeluarkan pun-untuk menyehatkan perbankan-seperti anak-anak bermain
tali. Tarik ulur hampir selalu mewarnai kebijakan pemerintah atas perbankan.
Kebijakan di bidang
keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Ambil contoh, pola pengembalian
dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya
pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian
diubah lagi menjadi satu tahun.
Sampai akhirnya setelah
melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan batas waktu empat tahun bagi
pemilik lama saham mayoritas bank beku operasi (BBO) dan bank take over
(BTO) untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah
yang plintat-plintut bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi
kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan.
Maka itu, jangan heran
jika masyarakat terus bingung. Sebenarnya kebingungan dan kepanikan dalam
masyarakat secara tidak langsung diciptakan sendiri oleh pemerintah melalui
kebijakan yang tidak utuh. Setelah kebijakan pengembalian BLBI sudah agak
terang dan jelas, sekarang muncul program rekapitalisasi (penambahan modal)
perbankan yang merupakan bagian dari kebijakan restrukturisasi perbankan
nasional.
Kebijakan yang hendak
dilaksanakan itu pun, belum memperjelas arah kebijakan pemerintah yang hendak
ditempuh dalam dunia perbankan. Dengan rekapitalisasi perbankan pemerintah
berobsesi menciptakan perbankan yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di
pasar global.
Di tengah kebingungan itu, kita bertanya.
Bagaimana menyehatkan perbankan. Hingga kini semua itu masih menjadi tanya
besar? Maka itu, tahun 1999, industri perbankan belum bisa diharapkan
beroperasi seperti sediakala. Mereka belum cukup mampu mengucurkan kredit.
Kalaupun ada yang bisa
beroperasi normal, itu hanyalah bank-bank asing atau campuran, atau bank-bank
swasta yang selama ini cukup berhati-hati menyalurkan dananya. Akan tetapi
jumlah bank yang bisa bertindak seperti hanya dalam bilangan jari tangan.
Lalu bagaimana
prospektif perbankan nasional? Hingga saat ini tak ada yang bisa memberikan
jawaban tuntas. Berbagai kalangan, domestik maupun dunia internasional di
berbagai seminar, juga sangat kebingungan melihat endemik penyakit perbankan.
Tahun 1999, akan masih terus dilanjutkan dengan sejumlah pertanyaan bagaimana
menyelesaikan perbankan.
Namun yang jelas,
likuidasi adalah suatu yang tak terhindarkan. Itu merupakan bagian dari
reformasi perbankan, yang bisa dikatakan, juga masih merupakan langkah sumir.
Maka itu, mengamati industri perbankan sepanjang tahun 1999 adalah sesuatu yang
mereka nantikan.
Sebenarnya ada hal
paling urgen yang kelihatannya tak punya korelasi, tetapi untuk menyehatkan
industri perbankan, hal itu mutlak diperlukan. Sebagaimana diketahui, dalam
dunia yang sudah terintegrasi ini, peran aliran modal sudah menjadi penyangga
perekonomian, dan sekaligus juga perbankan satu negara.
Aliran modal itu,
termasuk yang dalam kategori investasi portofolio-berbentuk saham obligasi atau
produk di pasar uang lainnya. Aliran modal lainnya, adalah yang juga disebut
sebagai foreign direct investment (aliran investasi asing langsung).
Untuk kawasan Asia
Pasifik, termasuk Indonesia, hal itu sudah terjadi. Namun keunikan Indonesia,
tidak bisa segera membalikkan arus modal keluar menjadi arus modal masuk. Korea
Selatan dan Thailand, adalah negara yang paling jitu dan lihai, serta menyadari
pentingnya kembali arus modal masuk itu.
Untuk Indonesia, meski
dipandang menarik, tetapi kerusuhan berdarah telah membuat investor ngeri untuk
masuk ke Indonesia. Jangankan untuk berbinis, untuk berkunjung pun mereka sudah
enggan. Karena itu, ketenangan politik, adalah hal mutlak yang harus
didengarkan otoritas.
Pemulihan
Ekonomi Tergantung Penyelesaian Agenda Politik
Pelaksanaan agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.
Pelaksanaan agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.
Laksamana Sukardi
menilai, kondisi perekonomian di tahun 1999 berada dalam situasi yang kritis.
Artinya perekonomian nasional berada di persimpangan jalan antara kemungkinan
terjadi recovery dan kehancuran. Peluangnya separuh-separuh.
Investor bersikap
menunggu, apakah pemilu akan berjalan jujur dan adil, serta demokratis. Kedua
hal itu menjadi syarat pembentukan pemerintahan yang bisa dipercaya rakyat.
Apabila demikian, maka dengan cepat ekonomi Indonesia akan pulih, karena
investor pasti akan datang kembali ke Indonesia.
Oleh karena itu,
keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu berlangsung
jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Menurut dia, masuknya aliran modal asing sebagai
jalan terbaik dalam pemulihan ekonomi hanya bisa terjadi kalau ada pemerintahan
yang bersih, didukung rakyat, adanya kepastian hukum dan sistem peradilan yang
independen.
Suksesnya pemilu dan
Sidang Umum di tahun 1999 tidak serta merta terjadi begitu saja. Mulai saat ini
harus dipersiapkan. Namun bayangan kegagalan masih berkecamuk, mengingat
intensitas kekerasan dan kejadian perampokan dan penjarahan yang membuat
masyarakat merasa tidak aman masih sering terjadi.
Selain masalah politik,
pembenahan sektor ekonomi terutama moneter juga sangat penting, apabila kita
mengharapkan pemulihan ekonomi. Dua persoalan mendasar yang harus diselesaikan,
yaitu restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri.
Pertama, restrukturisasi
perbankan harus berhasil. Rencana rekapitalisasi kemungkinan besar tidak akan
berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan penutupan
bank-bank yang memang tidak solvent, dengan demikian hanya tinggal
sedikit bank yang kuat dan profesional.
Sebelum mengatasi
perbankan swasta, bank-bank BUMN harus juga selesai. Apabila persoalan bank ini
tidak diselesaikan, maka tidak akan ada kegiatan ekonomi, karena tidak ada
kodal kerja dan perdagangan.
Kedua, masalah utang
luar negeri pemerintah dan swasta. Seberapa jauh masalah utang LN ini bisa
diselesaikan. Sebab, mengakhiri krisis perbankan kepercayaan dunia
internasional terhadap pemerintah tergantung dari penyelesaian utang tersebut.
Bila default, maka kredibilitas turun dan investor enggan masuk ke
Indonesia.
Ketua Umum Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B Sukamdani mengatakan, sebagai pengusaha
pihaknya memang harus optimis. Tetapi kalau melihat di lapangan terutama
perkembangan politik yang ada, maka yang ada hanya rasa waswas dan gamang.
Sebab pemilu masih jauh, tetapi intensitas kekerasan sudah cukup tinggi,
apalagi nanti kalau mendekati kampanye dan pemilu.
Oleh karena itu sikap
para pengusaha di tahun 1999 ini sudah pasti akan menunggu. Investasi tidak
akan ada. Yang terjadi, para pengusaha hanya meningkatkan volume dan penjualan
dari yang sudah ada. Pengusaha tidak mungkin mengandalkan pasar domestik,
tetapi luar negeri.
Kalau penyelesaian
politiknya baik, masyarakat mendukung pemerintahan yang baru, maka ekonomi akan
cepat sekali kembalinya. Yang dikhawatirkan ialah kalau terjadi gejolak sosial
akibat kegagalan pemilu yang tidak menampung aspirasi rakyat.
Dengan
pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha melihat kondisi perekonomian
nasional di tahun 1999 ibarat seseorang yang sedang mengendarai mobil di tengah
"kabut tebal". Kabut tebal (situasi sosial politik-Red)
menyebabkan pengendara (baca: pengusaha) tidak bisa memandang jauh ke depan.
Atas dasar pertimbangan keselamatan, maka pengendara itu tidak punya pilihan
lain kecuali menghentikan perjalanannya dan menunggu sampai kabut itu berlalu.*
Rupiah
dan Saham, Meliuk-liuk Bagai Ular
Rupiah pun tak mau ketinggalan telah menorehkan tinta
merah dalam sejarah perekonomian. Bursa saham pun demikian halnya, bergejolak
dan jika digambar terlihat seperti ular yang meliuk-liuk. Masih ingat ketika
kurs rupiah hampir menembus Rp 17.000 per dollar AS pada 17 Juni 1998?
Begitu Soeharto
menyatakan diri mundur sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei 1998-yang
diinginkan pasar dan diperkirakan bisa meredakan gelombang-tak juga menolong
rupiah. Rupiah masih sekitar Rp 11.000 per dollar AS. Kecenderungan pelemahan
rupiah pasar, terus menjadi-jadi sejak aksi penembakan mahasiswa Trisakti
tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan 14 Mei di Jakarta.
Hal itu diikuti
gelombang kerusuhan dan aksi politik yang sepertinya tidak habis-habisnya
setelah mundurnya Soeharto. Pukulan bertubi-tubi atas rupiah mencapai gongnya,
setelah mata uang yen Jepang mengalami depresiasi tajam 12 Juni 1998. Kurs
rupiah selanjutnya terjun bebas mencapai Rp 17.000, tingkat paling rendah
selama sejarahnya.
Kondisi ekonomi yang
mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi, suku bunga
bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan termasuk
yang sudah terdaftar di bursa. mengakhiri krisis perbankan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) bulan September lalu akhirnya mencapai
titik terendah 254 poin.
Menjelang tutup tahun
1998, indeks saham sedikit menapak naik melampaui tingkat 400 poin. Tingkat
suku bunga yang mulai menurun akibat inflasi yang mulai terkendali dan aksi
spekulasi pada valuta asing yang mulai mereda ikut membantu. Hal serupa juga
dialami rupiah yang cenderung membaik sejak September lalu dan kini terus
bertengger pada level Rp 7.000 sampai Rp 8.000.
perjalanan kurs rupiah dan indeks saham selama
tahun 1998 ibarat naik turun gunung dengan lembah dan ngarai yang terjal.
"Batas rupiah adalah langit," ujar pengamat ekonomi Hartojo
Wignjowijoto ketika kurs rupiah terus melemah mendekati Rp 17.000 bulan Juni
lalu.
Pasar memang tidak bisa
kompromi dengan perkembangan politik. Kondisi negatif ini semakin diperparah
dengan perkembangan global seperti jatuhnya kurs yen.
Kurs rupiah setahun yang
lalu masih bergerak antara Rp 4.000 - Rp 5.000 per dollar AS. Tidak terlalu
"buruk" apabila dikaitkan dengan keadaan saat ini yang bergerak
antara Rp 7.000 - Rp 8.000. Akan tetapi kondisi ekonomi dalam negeri ternyata
tidak bisa lagi diharapkan untuk mendukung rupiah agar tetap stabil sejak Bank
Indonesia (BI) melepaskan rentang intervensi 14 Agustus 1997 dan menutup 16
bank swasta bulan November.
Manuver-manuver politik
semakin memperburuk kepercayaan pasar atas perekonomian Indonesia. Kehadiran
calon wakil presiden BJ Habibie pada waktu itu, membuat pasar berkeyakinan
bahwa Indonesia masih akan tetap dengan ekonomi biaya tinggi. Sikap pemerintah
yang juga tarik ulur dalam mencapai kesepakatan program bantuan dengan Dana
Moneter Internasional (IMF) semakin mempersulit keadaan.
Hal serupa juga terlihat
pada harga-harga saham di BEJ. Setelah sempat melambung melampaui 700 poin pada
bulan Juni 1997, indeks saham terus terjun bebas hampir mendekati 300 poin pada
bulan Desember dan Januari 1998. Beruntung, penandatanganan letter of intent
pemerintah dengan IMF tanggal 15 Januari membuat pasar valas dan saham bereaksi
positif pada membaiknya perekonomian.
Kurs rupiah segera
kembali menguat hingga di bawah Rp 10.000. Bahkan sempat berada di bawah Rp
8.000 per dollar AS pada bulan Februari. Intervensi BI di pasar valas ikut
membantu. Revisi atas RAPBN 1998/ 1999, suatu tindakan revisi pertama yang
dilakukan pemerintahan selama ini, juga menunjukkan sikap serius pemerintahan
menghadapi krisis.
Di bursa saham,
harga-harga saham juga kembali melonjak. Indeks terus naik melampaui 500 poin
pada Februari 1998. Menurut pengamat pasar modal Jasso Winarto saat itu, para
investor asing mulai mengincar saham-saham unggulan Indonesia yang ketika itu
sudah sangat murah. Kesepakatan dengan IMF juga memberikan sentimen positif
krisis ekonomi Indonesia akan segera membaik.
Letter
of credit (L/C) dari Indonesia
tidak lagi diterima semua pihak di luar negeri. Lebih kalut lagi, pihak
peminjam di luar negeri mendesak para penerima pinjaman di dalam negeri agar
segera membayar utangnya. Waktu itu, diperkirakan sekitar 9,8 milyar dollar AS
utang jangka pendek pihak swasta Indonesia yang jatuh tempo. Akibatnya, tekanan
terhadap rupiah semakin bertubi-tubi.
Pasar valas maupun bursa
saham seperti telah patah arang terhadap pemerintah RI. Seperti telah
diungkapkan di atas, sejak itu kurs rupiah terus anjlok hingga mendekati Rp
17.000 (di Singapura sudah mencapai Rp 17.000). Indeks harga saham juga mulai
menunjukkan tendensi merosot menembus angka 400 poin dengan beberapa kali naik
sedikit sekadar koreksi kecil.
Sejak Juni dan Juli
1998, rupiah yang mencapai kurs paling rendah, secara perlahan mulai membaik.
Tekanan terhadap rupiah mulai melemah, setelah sejumlah perundingan bagi
penyelesaian utang luar negeri pihak swasta dicapai kesepakatan di Frankfurt,
Jerman. IMF juga mulai mengucurkan dana bantuannya. Sejumlah negara sahabat
juga mulai memperlihatkan sikap mendukung program ekonomi Indonesia.
Sayangnya, langkah pemulihan
ini belum terlihat di bursa saham. Harga-harga saham terus berjatuhan. Tidak
jarang, harga saham di BEJ sudah senilai harga permen. Harga rokok ataupun air
mineral jauh di atas harga per lembar saham. Indeks saham pun terus turun
hingga bulan September mencapai titik terendah 254 poin.
Pertanyaannya, apakah
kurs rupiah dan indeks saham ini masih akan stabil pada tingkat ini saat
memasuki tahun 1999? Penghujung tahun 1998, rupiah dan bursa agak pulih. Akan
tetapi sebagaimana dikemukakan, persoalan yang dihadapi seseorang atau sebuah
negara, harus mulai diselesaikan dari diri sendiri.
Itu berarti, pemerintah
sejak sekarang harus bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi dan politik
yang di dalam negeri. Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan. Jangan
sampai malah menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan.
BAB III
Penutup
1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dijabarkan di atas bisa disimpulkan bahwa kondis awalkrisis ekonomi di Indonesia sama sekali tidak terprediksi . pemulihan krisis ekonomi di Indonesia bisa di lakukan apabila Pelaksanaan agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila semua itu terwujud ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
2. Saran
1. Seharusnya krisi ekonomi di Indonesia dapat di prediksi dari jauh-jauh hari
2. Pemerintah seharusnya bersikap hati-hati dalam setiap menetapkan moneter dan mengetahui penyebab terjadinya krisis ekenomi.
3.Sebaiknya pemerintah bersikap cermat dan bertindak cepat dalam mencari solusi untuk menanggulangin krisi ekonomi yang di landa negara Indonesia
DAFTAR
PUSTAKA
Boediono, DR. 1983. Ekonomi Internasional. Jogjakarta.
BPFE UGM
BAB I
Pendahuluan
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Sejak terjadi krisis ekonomi, social dan politik pada tahun 1997 yang dialami bangsa Indonesia membuat pemerintah dan masyarakat terpuruk dan makin miskin. Kondisi demikian menyadarkan kita bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunan selama ini belum mampu secara tuntas menyelesaikan masalah kemiskinan terbukti dan sangat rentannya terhadap krisis ekonomi, social dan politik. Penyebab kemiskinan dapat disebabkan oleh 2(dua) faktor. Pertama factor internal yakni: factor yang ada pada individu, keluarga atau komunitas masyarakat miskin itu sendiri, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya tingkat pendapatan. Kedua factor eksternal yakni: dipengaruhi oleh kebijakan Global seperti sosial,politik,hokum dan ekonomi. Sedangkan dari sudut dampak kemiskinan akan menimbulkan dampak yang sangat besar jika tidak ditanggulangi seperti menurunnya kualitas sumber daya manusia,munculnya ketimpangan dan kecemburuan sosial,terganggunya stabilitas sosial,meningkatnya angka kriminalitas dan dampak sociallainnya. Kurang berhasilnya upaya penuntasan penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan dikarenakan berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan selalu bersifat parsial,sektoral dan tidak terintegrasi serta tidak focus bahkan terkadang atau ada beberapa kebijakan program yang justru menyebabkan terjadinya proses pemiskinan ditingkat masyarakat.
Sejak terjadi krisis ekonomi, social dan politik pada tahun 1997 yang dialami bangsa Indonesia membuat pemerintah dan masyarakat terpuruk dan makin miskin. Kondisi demikian menyadarkan kita bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunan selama ini belum mampu secara tuntas menyelesaikan masalah kemiskinan terbukti dan sangat rentannya terhadap krisis ekonomi, social dan politik. Penyebab kemiskinan dapat disebabkan oleh 2(dua) faktor. Pertama factor internal yakni: factor yang ada pada individu, keluarga atau komunitas masyarakat miskin itu sendiri, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya tingkat pendapatan. Kedua factor eksternal yakni: dipengaruhi oleh kebijakan Global seperti sosial,politik,hokum dan ekonomi. Sedangkan dari sudut dampak kemiskinan akan menimbulkan dampak yang sangat besar jika tidak ditanggulangi seperti menurunnya kualitas sumber daya manusia,munculnya ketimpangan dan kecemburuan sosial,terganggunya stabilitas sosial,meningkatnya angka kriminalitas dan dampak sociallainnya. Kurang berhasilnya upaya penuntasan penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan dikarenakan berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan selalu bersifat parsial,sektoral dan tidak terintegrasi serta tidak focus bahkan terkadang atau ada beberapa kebijakan program yang justru menyebabkan terjadinya proses pemiskinan ditingkat masyarakat.
2. Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
• Bagaimana cara mengataasi krisis ekonomi di Indonesia?
• Bagaimana kondisi negara indonesia di saat krisi ekonomi ?
• Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadi krisis ekonomi di Indonesia?
Adapun masalah-masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
• Bagaimana cara mengataasi krisis ekonomi di Indonesia?
• Bagaimana kondisi negara indonesia di saat krisi ekonomi ?
• Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadi krisis ekonomi di Indonesia?
3. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas terstruktur dari mata kuliah Perekonomian Indonesia. Lanjutan yang dibimbing oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan. Selain itu juga sebagai pembelajaran untuk penulis sendiri untuk berbagi ilmu kepada pembaca dan menambah pengetahuan tentang Kondisi Awal Krisis Ekonomi di Indonesia
BAB II
Kondisi
Awal Krisis Ekonomi di Indonesia
Berikut ini 4 Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
1. Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri.Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
2.Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan
pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
3. Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis.Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi
Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4. Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik
telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).
Tahun 1998 menjadi saksi bagi
tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat tragis dan tercatat
sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Mungkin dia
akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday
yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga
disebut sebagai malaise.
Hanya dalam waktu
setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua
dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan
indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.
Selama periode sembilan
bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam
perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun
1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai
dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.
Dana Moneter
Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak
bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti
lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia
bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.
Seperti efek bola salju,
krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2
Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi,
berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.
Akhirnya, dia juga
berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi
kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak goyah. Bahkan
kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia
tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi
baht, yang menjadi pemicu semua itu.
Efek
bola salju
Faktor yang mempercepat
efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat,
memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun 1998, ketidakpastian
suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan
kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi
perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina
yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.
Dari total utang luar
negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar
dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana
sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada
saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya kepercayaan
ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada
tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22
Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut
diambangkan 14 Agustus 1997.
Rupiah yang melayang,
selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai
reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan
dinilai tak realistis.
Krisis yang membuka
borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua
sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar
modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat
internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot
ke level di bawah junk atau menjadi sampah.
Puluhan, bahkan ratusan
perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70
persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau
nota bene bangkrut.
Sektor yang paling
terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga
melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran
melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar
20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK dan naiknya
harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga
meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya
sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir
harga akan terus melonjak.
Pendapatan per kapita
yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun
1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk
Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat
miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.
Data Badan Pusat
Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan
positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir
1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I
1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian
pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi
Februari mencapai 12,67 persen.
Di pasar modal, Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah,
292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997.
Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196
trilyun pada awal Juli 1998.
Di pasar uang,
dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan
Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari
masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan
kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan
tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.
Di sisi lain, sektor
ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama
terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban
utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing,
dan persaingan ketat di pasar global.
Selama periode
Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode
sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.
Anomali
Krisis kepercayaan ini
menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak mampu bekerja
untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor
fiskal yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan
akibat surutnya penerimaan.
Situasi yang terus
memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi
dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat menyampaikan
konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System)
di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20
Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan
ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.
Ditinggalkannya rencana
CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan IMF dan
internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga
ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan
berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.
Bahkan memicu adrenali
masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas. Kemarahan rakyat
atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga
yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes,
kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang
menuntun ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.
Tragedi berdarah ini
memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20 milyar dollar
AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi
nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak
rencana investasi asing di Indonesia.
Munculnya pemerintahan
baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan manuvernya untuk
merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan. Pemburukan kondisi ekonomi,
sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga
kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998. Begitulah, kita telah menyaksikan
episode terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.*
Era
Bank-bank Bangkrut
Industri perbankan selama tahun 1998 begitu
hiruk-pikuk. Antrean panjang nasabah menyambut industri perbankan awal tahun
1998. Mereka benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank di bawah
telapak kaki. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah,
menjadi awal dari semua prahara perbankan itu.
Untung ada jaminan atas
simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga. Kesulitan
perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah
panik. Namun demikian, jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan
yang sudah berkembang menjadi kronis.
Selain warisan dari
penyakit masa lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri perbankan
selama tahun 1998. Pertama adalah warisan dari kepanikan nasabah yang
mengakibatkan sumber pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang
menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI,
telah pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang terus bertambah.
Ada lagi faktor lain
yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih tinggi ketimbang suku bunga
simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban bankir
semakin bertambah saja. Bisa dikatakan, bank-bank kita sudah tinggal
gedung-gedung saja tanpa isi.
Resesi ekonomi telah
mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah. Idealnya, pemilik
bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi roh pada perbankan. Akan
tetapi itu tidak dapat dilakukan. Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit
yang disalurkan ke kelompok sendiri, terjerat kredit macet.
Tambahan pula, sebagian
kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan pemilik bank yang
ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak
nyaman di Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang langgang.
Akibatnya, BI harus
menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de facto, pemilik
saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui Bank Indonesia.
Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah dicengkeram oleh Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Akan tetapi
pengambilalihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga tak
menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah
menjadi penolong mayoritas kesulitan perbankan.
Namun pemerintah pun
kini bagai tunggang langgang, tiba-tiba dihadapkan pada beban dashyat akibat
borok-borok industri perbankan. Borok-borok itu, sangat jelas terlihat pada
peringkat perbankan yang mayoritas berkategori B (modal sudah menjadi negatif
25 persen terhadap aset) dan C (modal sudah negatif di bawah 25 persen)
terhadap aset.
Pemerintah memang merencanakan
rekapitalisasi dengan penerbitan obligasi. Diperkirakan akan ada Rp 257 trilyun
untuk menyuntikkan modal perbankan. Akan tetapi angka itu dianggap terlalu
moderat, jauh dari memadai. Kredit bermasalah bank sendiri pun mencapai kurang
lebih Rp 300 trilyun. Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu juga bukan hal
mudah untuk dipenuhi.
rencana rekapitalisasi, ada sejumlah kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah untuk menyehatkan perbankan. Ironisnya, kebijakan
yang dikeluarkan pun-untuk menyehatkan perbankan-seperti anak-anak bermain
tali. Tarik ulur hampir selalu mewarnai kebijakan pemerintah atas perbankan.
Kebijakan di bidang
keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Ambil contoh, pola pengembalian
dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya
pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian
diubah lagi menjadi satu tahun.
Sampai akhirnya setelah
melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan batas waktu empat tahun bagi
pemilik lama saham mayoritas bank beku operasi (BBO) dan bank take over
(BTO) untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah
yang plintat-plintut bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi
kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan.
Maka itu, jangan heran
jika masyarakat terus bingung. Sebenarnya kebingungan dan kepanikan dalam
masyarakat secara tidak langsung diciptakan sendiri oleh pemerintah melalui
kebijakan yang tidak utuh. Setelah kebijakan pengembalian BLBI sudah agak
terang dan jelas, sekarang muncul program rekapitalisasi (penambahan modal)
perbankan yang merupakan bagian dari kebijakan restrukturisasi perbankan
nasional.
Kebijakan yang hendak
dilaksanakan itu pun, belum memperjelas arah kebijakan pemerintah yang hendak
ditempuh dalam dunia perbankan. Dengan rekapitalisasi perbankan pemerintah
berobsesi menciptakan perbankan yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di
pasar global.
Di tengah kebingungan itu, kita bertanya.
Bagaimana menyehatkan perbankan. Hingga kini semua itu masih menjadi tanya
besar? Maka itu, tahun 1999, industri perbankan belum bisa diharapkan
beroperasi seperti sediakala. Mereka belum cukup mampu mengucurkan kredit.
Kalaupun ada yang bisa
beroperasi normal, itu hanyalah bank-bank asing atau campuran, atau bank-bank
swasta yang selama ini cukup berhati-hati menyalurkan dananya. Akan tetapi
jumlah bank yang bisa bertindak seperti hanya dalam bilangan jari tangan.
Lalu bagaimana
prospektif perbankan nasional? Hingga saat ini tak ada yang bisa memberikan
jawaban tuntas. Berbagai kalangan, domestik maupun dunia internasional di
berbagai seminar, juga sangat kebingungan melihat endemik penyakit perbankan.
Tahun 1999, akan masih terus dilanjutkan dengan sejumlah pertanyaan bagaimana
menyelesaikan perbankan.
Namun yang jelas,
likuidasi adalah suatu yang tak terhindarkan. Itu merupakan bagian dari
reformasi perbankan, yang bisa dikatakan, juga masih merupakan langkah sumir.
Maka itu, mengamati industri perbankan sepanjang tahun 1999 adalah sesuatu yang
mereka nantikan.
Sebenarnya ada hal
paling urgen yang kelihatannya tak punya korelasi, tetapi untuk menyehatkan
industri perbankan, hal itu mutlak diperlukan. Sebagaimana diketahui, dalam
dunia yang sudah terintegrasi ini, peran aliran modal sudah menjadi penyangga
perekonomian, dan sekaligus juga perbankan satu negara.
Aliran modal itu,
termasuk yang dalam kategori investasi portofolio-berbentuk saham obligasi atau
produk di pasar uang lainnya. Aliran modal lainnya, adalah yang juga disebut
sebagai foreign direct investment (aliran investasi asing langsung).
Untuk kawasan Asia
Pasifik, termasuk Indonesia, hal itu sudah terjadi. Namun keunikan Indonesia,
tidak bisa segera membalikkan arus modal keluar menjadi arus modal masuk. Korea
Selatan dan Thailand, adalah negara yang paling jitu dan lihai, serta menyadari
pentingnya kembali arus modal masuk itu.
Untuk Indonesia, meski
dipandang menarik, tetapi kerusuhan berdarah telah membuat investor ngeri untuk
masuk ke Indonesia. Jangankan untuk berbinis, untuk berkunjung pun mereka sudah
enggan. Karena itu, ketenangan politik, adalah hal mutlak yang harus
didengarkan otoritas.
Pemulihan
Ekonomi Tergantung Penyelesaian Agenda Politik
Pelaksanaan agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.
Pelaksanaan agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.
Laksamana Sukardi
menilai, kondisi perekonomian di tahun 1999 berada dalam situasi yang kritis.
Artinya perekonomian nasional berada di persimpangan jalan antara kemungkinan
terjadi recovery dan kehancuran. Peluangnya separuh-separuh.
Investor bersikap
menunggu, apakah pemilu akan berjalan jujur dan adil, serta demokratis. Kedua
hal itu menjadi syarat pembentukan pemerintahan yang bisa dipercaya rakyat.
Apabila demikian, maka dengan cepat ekonomi Indonesia akan pulih, karena
investor pasti akan datang kembali ke Indonesia.
Oleh karena itu,
keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu berlangsung
jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Menurut dia, masuknya aliran modal asing sebagai
jalan terbaik dalam pemulihan ekonomi hanya bisa terjadi kalau ada pemerintahan
yang bersih, didukung rakyat, adanya kepastian hukum dan sistem peradilan yang
independen.
Suksesnya pemilu dan
Sidang Umum di tahun 1999 tidak serta merta terjadi begitu saja. Mulai saat ini
harus dipersiapkan. Namun bayangan kegagalan masih berkecamuk, mengingat
intensitas kekerasan dan kejadian perampokan dan penjarahan yang membuat
masyarakat merasa tidak aman masih sering terjadi.
Selain masalah politik,
pembenahan sektor ekonomi terutama moneter juga sangat penting, apabila kita
mengharapkan pemulihan ekonomi. Dua persoalan mendasar yang harus diselesaikan,
yaitu restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri.
Pertama, restrukturisasi
perbankan harus berhasil. Rencana rekapitalisasi kemungkinan besar tidak akan
berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan penutupan
bank-bank yang memang tidak solvent, dengan demikian hanya tinggal
sedikit bank yang kuat dan profesional.
Sebelum mengatasi
perbankan swasta, bank-bank BUMN harus juga selesai. Apabila persoalan bank ini
tidak diselesaikan, maka tidak akan ada kegiatan ekonomi, karena tidak ada
kodal kerja dan perdagangan.
Kedua, masalah utang
luar negeri pemerintah dan swasta. Seberapa jauh masalah utang LN ini bisa
diselesaikan. Sebab, mengakhiri krisis perbankan kepercayaan dunia
internasional terhadap pemerintah tergantung dari penyelesaian utang tersebut.
Bila default, maka kredibilitas turun dan investor enggan masuk ke
Indonesia.
Ketua Umum Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B Sukamdani mengatakan, sebagai pengusaha
pihaknya memang harus optimis. Tetapi kalau melihat di lapangan terutama
perkembangan politik yang ada, maka yang ada hanya rasa waswas dan gamang.
Sebab pemilu masih jauh, tetapi intensitas kekerasan sudah cukup tinggi,
apalagi nanti kalau mendekati kampanye dan pemilu.
Oleh karena itu sikap
para pengusaha di tahun 1999 ini sudah pasti akan menunggu. Investasi tidak
akan ada. Yang terjadi, para pengusaha hanya meningkatkan volume dan penjualan
dari yang sudah ada. Pengusaha tidak mungkin mengandalkan pasar domestik,
tetapi luar negeri.
Kalau penyelesaian
politiknya baik, masyarakat mendukung pemerintahan yang baru, maka ekonomi akan
cepat sekali kembalinya. Yang dikhawatirkan ialah kalau terjadi gejolak sosial
akibat kegagalan pemilu yang tidak menampung aspirasi rakyat.
Dengan
pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha melihat kondisi perekonomian
nasional di tahun 1999 ibarat seseorang yang sedang mengendarai mobil di tengah
"kabut tebal". Kabut tebal (situasi sosial politik-Red)
menyebabkan pengendara (baca: pengusaha) tidak bisa memandang jauh ke depan.
Atas dasar pertimbangan keselamatan, maka pengendara itu tidak punya pilihan
lain kecuali menghentikan perjalanannya dan menunggu sampai kabut itu berlalu.*
Rupiah
dan Saham, Meliuk-liuk Bagai Ular
Rupiah pun tak mau ketinggalan telah menorehkan tinta
merah dalam sejarah perekonomian. Bursa saham pun demikian halnya, bergejolak
dan jika digambar terlihat seperti ular yang meliuk-liuk. Masih ingat ketika
kurs rupiah hampir menembus Rp 17.000 per dollar AS pada 17 Juni 1998?
Begitu Soeharto
menyatakan diri mundur sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei 1998-yang
diinginkan pasar dan diperkirakan bisa meredakan gelombang-tak juga menolong
rupiah. Rupiah masih sekitar Rp 11.000 per dollar AS. Kecenderungan pelemahan
rupiah pasar, terus menjadi-jadi sejak aksi penembakan mahasiswa Trisakti
tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan 14 Mei di Jakarta.
Hal itu diikuti
gelombang kerusuhan dan aksi politik yang sepertinya tidak habis-habisnya
setelah mundurnya Soeharto. Pukulan bertubi-tubi atas rupiah mencapai gongnya,
setelah mata uang yen Jepang mengalami depresiasi tajam 12 Juni 1998. Kurs
rupiah selanjutnya terjun bebas mencapai Rp 17.000, tingkat paling rendah
selama sejarahnya.
Kondisi ekonomi yang
mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi, suku bunga
bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan termasuk
yang sudah terdaftar di bursa. mengakhiri krisis perbankan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) bulan September lalu akhirnya mencapai
titik terendah 254 poin.
Menjelang tutup tahun
1998, indeks saham sedikit menapak naik melampaui tingkat 400 poin. Tingkat
suku bunga yang mulai menurun akibat inflasi yang mulai terkendali dan aksi
spekulasi pada valuta asing yang mulai mereda ikut membantu. Hal serupa juga
dialami rupiah yang cenderung membaik sejak September lalu dan kini terus
bertengger pada level Rp 7.000 sampai Rp 8.000.
perjalanan kurs rupiah dan indeks saham selama
tahun 1998 ibarat naik turun gunung dengan lembah dan ngarai yang terjal.
"Batas rupiah adalah langit," ujar pengamat ekonomi Hartojo
Wignjowijoto ketika kurs rupiah terus melemah mendekati Rp 17.000 bulan Juni
lalu.
Pasar memang tidak bisa
kompromi dengan perkembangan politik. Kondisi negatif ini semakin diperparah
dengan perkembangan global seperti jatuhnya kurs yen.
Kurs rupiah setahun yang
lalu masih bergerak antara Rp 4.000 - Rp 5.000 per dollar AS. Tidak terlalu
"buruk" apabila dikaitkan dengan keadaan saat ini yang bergerak
antara Rp 7.000 - Rp 8.000. Akan tetapi kondisi ekonomi dalam negeri ternyata
tidak bisa lagi diharapkan untuk mendukung rupiah agar tetap stabil sejak Bank
Indonesia (BI) melepaskan rentang intervensi 14 Agustus 1997 dan menutup 16
bank swasta bulan November.
Manuver-manuver politik
semakin memperburuk kepercayaan pasar atas perekonomian Indonesia. Kehadiran
calon wakil presiden BJ Habibie pada waktu itu, membuat pasar berkeyakinan
bahwa Indonesia masih akan tetap dengan ekonomi biaya tinggi. Sikap pemerintah
yang juga tarik ulur dalam mencapai kesepakatan program bantuan dengan Dana
Moneter Internasional (IMF) semakin mempersulit keadaan.
Hal serupa juga terlihat
pada harga-harga saham di BEJ. Setelah sempat melambung melampaui 700 poin pada
bulan Juni 1997, indeks saham terus terjun bebas hampir mendekati 300 poin pada
bulan Desember dan Januari 1998. Beruntung, penandatanganan letter of intent
pemerintah dengan IMF tanggal 15 Januari membuat pasar valas dan saham bereaksi
positif pada membaiknya perekonomian.
Kurs rupiah segera
kembali menguat hingga di bawah Rp 10.000. Bahkan sempat berada di bawah Rp
8.000 per dollar AS pada bulan Februari. Intervensi BI di pasar valas ikut
membantu. Revisi atas RAPBN 1998/ 1999, suatu tindakan revisi pertama yang
dilakukan pemerintahan selama ini, juga menunjukkan sikap serius pemerintahan
menghadapi krisis.
Di bursa saham,
harga-harga saham juga kembali melonjak. Indeks terus naik melampaui 500 poin
pada Februari 1998. Menurut pengamat pasar modal Jasso Winarto saat itu, para
investor asing mulai mengincar saham-saham unggulan Indonesia yang ketika itu
sudah sangat murah. Kesepakatan dengan IMF juga memberikan sentimen positif
krisis ekonomi Indonesia akan segera membaik.
Letter
of credit (L/C) dari Indonesia
tidak lagi diterima semua pihak di luar negeri. Lebih kalut lagi, pihak
peminjam di luar negeri mendesak para penerima pinjaman di dalam negeri agar
segera membayar utangnya. Waktu itu, diperkirakan sekitar 9,8 milyar dollar AS
utang jangka pendek pihak swasta Indonesia yang jatuh tempo. Akibatnya, tekanan
terhadap rupiah semakin bertubi-tubi.
Pasar valas maupun bursa
saham seperti telah patah arang terhadap pemerintah RI. Seperti telah
diungkapkan di atas, sejak itu kurs rupiah terus anjlok hingga mendekati Rp
17.000 (di Singapura sudah mencapai Rp 17.000). Indeks harga saham juga mulai
menunjukkan tendensi merosot menembus angka 400 poin dengan beberapa kali naik
sedikit sekadar koreksi kecil.
Sejak Juni dan Juli
1998, rupiah yang mencapai kurs paling rendah, secara perlahan mulai membaik.
Tekanan terhadap rupiah mulai melemah, setelah sejumlah perundingan bagi
penyelesaian utang luar negeri pihak swasta dicapai kesepakatan di Frankfurt,
Jerman. IMF juga mulai mengucurkan dana bantuannya. Sejumlah negara sahabat
juga mulai memperlihatkan sikap mendukung program ekonomi Indonesia.
Sayangnya, langkah pemulihan
ini belum terlihat di bursa saham. Harga-harga saham terus berjatuhan. Tidak
jarang, harga saham di BEJ sudah senilai harga permen. Harga rokok ataupun air
mineral jauh di atas harga per lembar saham. Indeks saham pun terus turun
hingga bulan September mencapai titik terendah 254 poin.
Pertanyaannya, apakah
kurs rupiah dan indeks saham ini masih akan stabil pada tingkat ini saat
memasuki tahun 1999? Penghujung tahun 1998, rupiah dan bursa agak pulih. Akan
tetapi sebagaimana dikemukakan, persoalan yang dihadapi seseorang atau sebuah
negara, harus mulai diselesaikan dari diri sendiri.
Itu berarti, pemerintah
sejak sekarang harus bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi dan politik
yang di dalam negeri. Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan. Jangan
sampai malah menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan.
BAB III
Penutup
1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dijabarkan di atas bisa disimpulkan bahwa kondis awalkrisis ekonomi di Indonesia sama sekali tidak terprediksi . pemulihan krisis ekonomi di Indonesia bisa di lakukan apabila Pelaksanaan agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila semua itu terwujud ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
2. Saran
1. Seharusnya krisi ekonomi di Indonesia dapat di prediksi dari jauh-jauh hari
2. Pemerintah seharusnya bersikap hati-hati dalam setiap menetapkan moneter dan mengetahui penyebab terjadinya krisis ekenomi.
3.Sebaiknya pemerintah bersikap cermat dan bertindak cepat dalam mencari solusi untuk menanggulangin krisi ekonomi yang di landa negara Indonesia
DAFTAR
PUSTAKA
Boediono, DR. 1983. Ekonomi Internasional. Jogjakarta.
BPFE UGM
Apakah Anda mencari pinjaman untuk memulai bisnis atau proyek yang sesuai keinginan Anda? Di KARINA ROLAND LOAN COMPANY, kami menawarkan semua jenis bantuan keuangan untuk semua individu yang membutuhkan pinjaman seperti "pinjaman pribadi, pinjaman investasi, pinjaman rumah dan perusahaan pinjaman di seluruh dunia, tingkat bunga kami adalah 2% per tahun. Kami juga memberikan saran keuangan dan bantuan kepada klien dan pelamar kami. Jika Anda memiliki proyek yang baik atau ingin memulai bisnis dan membutuhkan pinjaman untuk segera membiayainya, kami dapat membicarakannya, menandatangani kontrak, dan kemudian mendanai proyek atau bisnis Anda untuk Anda bersama dengan Bank Dunia dan Bank Industri.
BalasHapusHubungi KARINA ROLAND LOAN COMPANY hari ini untuk mata uang yang Anda inginkan.
Kategori Bisnis
Bisnis Merchandising.
Bisnis manufaktur
Bisnis Hibrid.
Kepemilikan tunggal
Kemitraan.
Perusahaan.
Perseroan terbatas.
pinjaman pribadi.
pinjaman investasi.
Pinjaman Hutang.
Kredit Pemilikan Rumah.
Pinjaman hipotek
Laon otomatis.
Pinjaman pelajar.
Pinjaman bayaran.
Pinjaman syariah.
Pinjaman pertanian.
Pinjaman gereja.
PERUSAHAAN PINJAMAN ROLAND KARINA ELENA
Email: karinaloancompany @ gmail com WhatsApp only +1 (585) 708-3478.
Nama Facebook: Elena karina Roland
instagram: karina roland