Rabu, 02 Mei 2012

Dampak kerugian korupsi bagi negara


I   PENDAHULUAN
a.       Latar belakang
Korupsi di Indonesia memang telah merajalela bagai gurita. Korupsi telah ‘biasa’ dilakukan dari tingkat aparat paling redah, Ketua RT, hingga pejabat tinggi negara. Pada 2011 terdapat 436 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.053 orang. Potensi kerugian negara akibat korupsi ini adalah Rp2,169 triliun. Yang menarik, kebanyakan pelaku korupsi ini memiliki latar belakang pegawai negeri sipil (PNS). Tersangka berlatar belakang pegawai negeri menempati urutan teratas dengan jumlah 239 orang. Diikuti oleh direktur atau pimpinan perusahaan swasta dengan 190 orang, serta anggota DPR/DPRD berjumlah 99 orang.
Korupsi ternyata bukan monopoli elite partai atau penguasa. Di negeri ini semangat mencuri uang negara telah dipraktikkan generasi muda di kalangan birokrasi. Telah terjadi regenerasi koruptor. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan baru-baru ini menemukan sekitar 1.800 rekening bernilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah milik PNS. Para pemilik rekening itu berusia sangat muda, yakni antara 28 hingga 38 tahun. Dalam kepangkatan, mereka ialah para pegawai golongan II hingga IV.
b.      Rumusan masalah
Indonesia Corruption Watch (ICW) Rabu (19/07/06) kemarin, memaparkan hasil kajiannya tentang korupsi di Indonesia selama Januari hingga Juni 2006. Selama 6 bulan, kerugian negara akibat korupsi mencapai hampir 11 triliun rupiah.   Korupsi terbesar dilakukan Sekneg dengan kerugian negara mencapai 1,9 triliun rupiah. Sementara itu sektor yang banyak timbul kasus korupsi adalah sektor pertanahan dan APBD. Sedangkan lembaga negara yang banyak terjadi korupsi adalah Pemda, DPRD dan BUMN dan BUMD.
ICW berharap kepolisian, kejaksaan dan aparat pemberantas korupsi lainnya untuk serius menangani korupsi dengan target mengembalikan uang negara dan menghukum pelakunya. Tingginya kerugian negara dari sektor investasi pemerintah, salah satunya karena investasi pemerintah di bidang pendidikan terbukti merupakan kasus korupsi terbanyak sepanjang tahun 2011. Tingginya korupsi di bidang pendidikan merupakan hal baru karena pada tahun 2010, korupsi tertinggi berasal dari infrastuktur, diikuti sektor keuangan, kemudian pendidikan.


c.       Tujuan penulisan
Dari penulisan ini kami ingin memaparkan berapa kerugian nominal Negara akibat adanya tindakan korupsi oleh para petinggi Negara yang dimasukan ke dalam kantong pribadi mereka masing-masing.













II. ISI
 Indonesia Corruption Watch (ICW) hari ini mengumumkan Tren Penegakan Hukum Kasus Korupsi 2011. Laporan ini disusun sebagai evaluasi kinerja aparat penegak hukum (APH) dalam menangani kasus korupsi di Indonesia. Dalam laporan ICW terdapat tiga besar sektor yang paling merugikan negara akibat korupsi. Pertama, sektor investasi pemerintah, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 439 miliar. Kedua, sektor keuangan daerah dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 417,4 miliar. Ketiga, sektor sosial kemasyarakatan, yakni korupsi yang kasusnya berkaitan dengan dana-dana bantuan yang diperuntukkan bagi masyarakat, yang diperkirakan mencapai Rp 299 miliar. Menurut ICW, sektor pendidikan dengan angka kejadian korupsi paling tinggi perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Penting bagi jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dinas-dinas pendidikan di daerah, BPK atau BPKP, serta aparat penegak hukum untuk mengawasi penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran pendidikan.
Selain itu, kerugian negara tertinggi berdasarkan tempat terjadinya korupsi atau berdasarkan lembaga yakni berasal dari semua lembaga dalam jajaran pemerintah kabupaten (pemkab) dengan jumlah 264 kasus. Selanjutnya, kelembagaan dalam naungan pemerintah kota (pemkot) dengan jumlah 56 kasus, dan terakhir dalam jajaran pemerintah provinsi (pemprov) dengan jumlah 23 kasus. Kerugian negara akibat korupsi di lingkungan pemkab mencapai Rp 657,7 miliar, lembaga BUMN Rp 249,4 miliar, dan pemkot Rp 88,1 miliar. Untuk itu, ICW merekomendasikan agar APH menghentikan penggunaan dana bansos dan hibah untuk kepentingan pemenangan pilkada oleh kandidat yang berposisi petahana. Adapun Kementerian Dalam Negeri harus menggunakan wewenang dan otoritasnya untuk melarang penggunaan dana bansos atau hibah menjelang pilkada sehingga membuat APBD lebih efektif dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan daerah dibandingkan harus dipakai sebagai alat politik bagi petahana dalam mobilitas suara pemilih.
Fenomena itu juga terjadi di seluruh Indonesia dan banyak dilakukan bendaharawan proyek APBN dan APBD. Modusnya ialah para bendaharawan proyek itu mentransfer uang negara ke rekening pribadi, bahkan ke rekening istri dan anak-anak mereka. Transfer biasanya dilakukan menjelang berakhirnya tahun anggaran, yakni pada tanggal belasan di bulan Desember. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar menjelaskan uang miliaran rupiah dalam rekening PNS merupakan titipan proyek kementerian untuk mencegah pemotongan anggaran di tahun berikutnya. Apa pun alasan di balik pemindahan itu, jelas telah terjadi penyalahgunaan. Tidak ada aturan yang membenarkan menyimpan uang negara di dalam rekening pribadi. Penyimpanan seperti itu adalah tindakan kriminal.
Dalam hal ini, PPATK tidak boleh setengah-setengah menindaklanjuti temuan itu. Mereka seharusnya segera menyerahkan data rekening yang mencurigakan kepada aparatur penegak hukum, termasuk KPK. Kepolisian, kejaksaan, apalagi KPK, harus menggunakan asas pembuktian terbalik dalam mengusut rekening-rekening PNS muda yang mencurigakan itu. Mereka layak diperiksa dan diminta membuktikan asal usul uang dalam rekening mereka. Bila kepemilikan tidak bisa dibuktikan asal usulnya secara sah dan fair, uang harus disita untuk negara. Apalagi Indonesia memiliki undang-undang tentang pencucian uang, yang jarang dipakai aparatur penegak hukum dalam menjerat koruptor. Menurut undang-undang itu, siapa saja yang menerima aliran dana dari seorang koruptor harus dihukum. Bila undang-undang itu dipakai, akan banyak sekali yang masuk penjara. Menggunakan undang-undang pencucian uang harus menjadi senjata bagi pimpinan KPK yang baru untuk memberantas korupsi yang makin mewabah. Dengan undang-undang itu, para politikus yang kecipratan uang dari tersangka korupsi harus masuk bui.
Menurut peneliti ICW, Agus Sunaryanto, hal ini konsisten dengan yang terjadi pada 2010, meski pun jumlahnya untuk tahun ini menurun. Di 2010 ada 336 PNS yang terlibat kasus korupsi. Temuan ini mengkonfirmasi penelusuran PPATK tentang maraknya rekening gendut PNS muda di berbagai daerah. Hal ini, menunjukkan kegagalan pengawas internal pemerintah pusat dan daerah seperti Bawasda dan Irjen dalam mengantisipasi berbagai bentuk penyimpangan.



III. PENUTUP
a.       Kesimpulan
Terpilihnya pemimpin baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyimpan optimisme sekaligus pesimisme. Optimisme muncul karena terpilihnya Abraham Samad sebagai Ketua KPK merupakan kemenangan fraksi-fraksi di DPR yang menginginkan pengusutan tuntas perkara bailout Bank Century, dugaan korupsi proyek Hambalang, serta korupsi Wisma Atlet. Melihat korupsi yang marak itu, KPK, kejaksaan dan kepolisian harus bertindak lebih galak ! Jika tidak, maka koruptor bakal kian bebas bergerak, dan negeri ini bisa bangkrut. Pemberantasan korupsi lebih baik difokuskan ke pembersihan penegak hukum yang telah terinfeksi korupsi. Sebab semua kasus korupsi bermuara pada pemeriksaan dan penghukumannya ada di penegak hukum














SUMBER


Tidak ada komentar:

Posting Komentar